Suatu Ketika saya
berada di rumah saudara saya di salah satu desa di daerah Maguwo, Jogja. Waktu itu
hari Jumat. Saya baru sampai dari Jakarta. Touchdown rumah saudara jam
11 pagi menjelang orang orang berangkat jumatan.
Seperti kelaziman
umumnya, saya mandi segera setelah memasuki rumah. Sepupu saya yang masih euphoria
dengan kedatangan saya kemudian bertanya, om mau ikut jumatan? Saya jawab tidak.
Saya sangat ngantuk saat itu. Saya berangkat jam 3 pagi, bangun jam 2 untuk
melakukan persiapan. Om titip sedekah jumat ya buat di masjid, sambil saya pergi
ke kamar ambil uang di dompet.
sebelum saya
lanjutkan, saya ingin bertanya kepada kalian. Kalau kalian sedekah, biasanya berapa?
Seribu, dua ribu, lima ribu, sepuluh, dua puluh, lima puluh, seratus, atau mix
dari angka angka pecahan uang tersebut?
Kembali ke
cerita, setelah mendapatkan dompet, saya kemudian membukanya. Sambil menjawab
ke sepupu saya tadi, wah dek, ga ada uang kecil. Adanya uang merah. YA SAMA LAH!
Sontak jawab dia. Wow, kaget saya. Kaget dengan nada dia, kaget dengan jumlah
sedekah dia. Kalau kamu kaget ga?
Saya teringat
tentang keluhan orang ornag di jagat maya tentang UMR jogja. Nilainya sangat
jauh di bawah Jakarta. Tetapi keinginan berbaginya luar biasa. Konon sedekah
sebesar itu termasuk kecil karena pada saat ada acara kondangan, tetangga tetangga
saudara saya paling sedikit dua ratus ribu. Secara matematis apabila
dibandingkan dengan UMR akan mendekati nilai sepuluh persennya. Luar biasa. Apabila
melihat lingkungan sekitar, rumah mereka Nampak sangat sederhana. Tapi kalian
jangan tertipu, orangnya sangat dermawan. Contoh lain kedermawanan mereka
adalah setelah sholat Jumat, masjid menyediakan makanan dan minuman kepada
jamaahnya. Orang lain bebas untuk menyumbang. Ada salah satu warga yang selalu
menyumbangkan bakso dagangannya. Sudah dibungkus plastic, siap dibawa pulang
untuk dimakan di rumah. Mencengangkan! Bagi saya. Bagi kalian yang biasa, saya
salut.
Duit ra digowo mati, akeh akeh sedekah wae wes ah yok!
Komentar
Posting Komentar