huru
hara hebat
Perubahan
sosiopolitik yang membawa malapetaka
-,-
Ada beberapa hal yang
eksak, diantaranya jarak dan waktu. 80 km dan 75 menit adalah waktu
yang tidak bisa dikurangi dan rawan bertambah. Keduanya selalu saya
hadapi tiap senin. Jam 5.30 kuda besi saya sudah harus berangkat,
nyatanya sering molor sampai jam 6. Kadang saya kasihan, motor 105cc
dipaksa memacu kecepatan sampai melampaui 100 km/jam namun nyatanya
hanya mentok di 90km/jam. Getaran hebat mesinnya menemani sumpah
serapah saya pada pengendara tak tahu aturan. Kadang saya heran
dengan mereka. Macam-macam tingkahnya. Yang paling memuakkan adalah
pelambat yang memaksa berjalan di tengah jalur, apalagi yang tidak
memakai pelindung kepala. Jangan salah bila saya meneriakkan
kata-kata kasar. Marah pun hak anda, tapi tolong hargai nyawa anda
dan orang lain.
-,-
Saya tidak mengerti apa
yang terjadi tahun 1998. Saya masih sd kelas tiga. Asik bekejaran
bermain bentengan, sibuk merebut dan mempertahankan kerajaan bersama
teman-teman. Tidak peduli dengan penculikan, pembakaran, dan
perkosaan insan-insan pertiwi. Kamu ingat?
Yang saya ingat, banyak
barisan orang-orang berjaket almamater berkumpul di banyak daerah.
Kabarnya mereka protes, saya juga lupa apa yang diprotes. Dan mereka
berhasil, sang presiden turun tahta sukarela. Konon, manuver tersebut
dinamakan “lengser ing Keprabon”. Keren nggak? Saya sih ga tahu
artinya.
Lima belas tahun berlalu.
Dulu yang ikut berdemo mungkin sudah hidup tentram, punya rumah, dan
keturunan. Negara subur makmur ini seharusnya lebih baik dengan
sistem benar-benar demokrasi yang mereka impikan dahulu. Namun, saya
terenyak. Saya tertarik dengan statement tiga ibu rumah tangga,
sekaligus wanita karir, di waktu yang hampir sama. Mereka sepakat
bahwa zaman orde baru lebih baik dari reformasi. Kebetulan saat itu
harga bawang meroket tinggi. Ibu-ibu rumah tangga menjerit karena
lonjakannya. Mereka menuding kecurangan oleh segelintir orang yang
menimbun komoditas penyedap makanan ini. Tidak salah, manusiawi.
Orde baru, Indonesia
dibawah tirani. Siapa saja yang macam-macam, harap hati-hati. Minimal
penjara beberapa bulan harus dijalani. Atau paling parah ya diculik,
anggap saja kau hilang dari bumi (dan saya dengar penculiknya akan
maju pada pemilihan presiden 2014).
Reformasi, sudah empat
presiden yang berkuasa. Ekonomi melambung tinggi. Tapi kenapa masih
ada statement ibu-ibu tadi? Mungkin dulu semua takut, sekarang - atas
dasar reformasi dan pasar terbuka - semua nggak mau kalah.
Jenderal-jenderal kecil bermunculan. Masing-masing berkoalisi dengan
yang lain membentuk mafia. Aturan-aturan pemerintah seolah dibuat
untuk dimanfaatkan kingpin itu. Atau memang benar pemikiran saya,
bahwa manusia dengan keterbatasannya pasti akan beradaptasi terhadap
hambatan-hambatan tersebut? Kalau iya, naikkan saja harga BBM.
Percuma APBN dibakar habis-habisan. Mending untuk pendidikan kan?
Biar tidak ada lagi masyarakat yang mau dibodoh-bodohi.
Sumber:
m.artikata.com/arti-333259-kataklisme.html
Komentar
Posting Komentar